Tuesday 6 May 2008

Giriloyo - Sentra batik tulis yang terlupakan

Pada saat kami mengunjungi daerah Bantul - Yogyakarta, kebetulan pada saat itu musim tanam padi sudah berakhir dan diganti dengan perkebunan tebu. Pohon - pohon tebu setinggi ukuran tinggi orang dewasa tampak berayun ayun mengikuti arah tiupan angin.

Tujuan kami hari ini adalah mengunjungi desa batik Giriloyo, yang katanya pembatik di daerah tersebut adalah pembatik kain - kain kraton. Desa Giriloyo terletak sekitar 1 km sebelah utara kompleks Pemakaman para raja - raja Imogiri.


Perjalanan menuju ke desa Giriloyo, sangatlah menakjubkan dengan pemandangan hamparan perkebunan tebu di kiri - kanan jalan. Di sepanjang perjalanan kami hanya sesekali bertemu dengan pengendara sepeda atau petani yang sedang membawa cangkul pulang ke rumah. Jalanan yang kami lalui sangat sunyi, saya membayangkan apabila malam hari tiba, jalan ini tentu akan sangat sunyi dan gelap gulita. Tak berapa lama kemudian, tampak sudah di hadapan kami perkampungan penduduk Desa Giriloyo. Pemandangan yang begitu asri, kombinasi antara rumah - rumah kayu dengan hijaunya pepohonan serta warna - warni bunga di halaman rumah mereka. Desa ini begitu tenang, begitu damai, suatu pemandangan yang sangat jauh berbeda dengan kondisi di Jakarta.

Beberapa rumah sudah kami lewati, tak jauh di depan kami tampak berapa penduduk desa yang sedang bergotong royong menurunkan pasir dari sebuah truk berwarna merah. Mereka sedang bergotong royong untuk membangun jembatan desa yang rusak. Kami berhenti sebentar untuk menanyakan kepada bapak - bapak tersebut arah letak rumah para pengrajin batik, dan seorang bapak kemudian menunjuk ke salah satu rumah yang letaknya agak ke atas yang merupakan rumah dari ketua kelompok pengrajin batik di daerah tersebut.

Tampak di depan sebuah rumah papan alamat " Kelompok Pengrajin Batik Tulis Tradisional BIMA SAKTI " dan tidak lama kemudian tampak seorang Ibu yang berumur sekitar 60 th datang menghampiri kami. Setelah memperkenalkan diri, Ibu tersebut mempersilahkan kami masuk ke dalam pendopo rumah nya yang masih bergaya rumah jawa jaman dahulu. Ibu tersebut bernama Ibu Hartinah yang merupakan salah satu ketua kelompok pengrajin batik di desa Giriloyo

Ibu Hartinah mempersilahkan kami untuk melihat lihat ke pendopo belakang rumahnya untuk melihat proses pembuatan batik tulis. Kebetulan hari itu hanya tampak 1 orang bapak yang sedang merendam kain batik yang telah selesai diwarnai dan tampak pula tumpukan kain batik yang baru selesai dicanting. Setelah puas berkeliling dan melihat lihat, kami kembali ke pendopo depan untuk melihat lihat kain batik tulis yang sudah siap untuk dijual. Hamparan kain batik tulis dengan motif - motif tradisional khas Yogya tampak begitu menakjubkan, dan memang pengrajin batik di Giriloyo masih mempertahankan motif - motif klasik
seperti motif sido asih, sido mulyo, sido mukti, sido luhur, truntum mangkoro, sri kuncoro, wahyu tumurun dan masih banyak lainnya.

Menurut Ibu Hartinah sekarang para pengrajin batik di daerah tersebut sudah semakin sedikit, dan rata rata mereka sudah berumur 45th ke atas. Generasi muda desa tersebut lebih banyak memilih untuk bekerja di luar desa. Dan di desa Giriloyo tersebut hanya terdapat 2 kelompok pengrajin, dimana dalan 1 kelompok tersebut terdiri dari sekitar 24 orang.

Untuk pengerjaan 1 lembar kain batik, biasanya dikerjakan oleh 4-5 orang. Pada proses penggambaran motif pada kain dikerjakan oleh 1 orang dan kemudian pindah ke orang lainnya untuk proses pencantingan / pelilinan, kemudian proses pewarnaan dikerjakan oleh orang lain lagi, dan terakhir proses pelorodan / penghilangan lilin dari kain ini juga dikerjakan oleh 1 orang yang berbeda pula. 1 lembar kain batik tulis dikerjakan dalam jangka waktu 3 bulan dengan harga jual Rp. 550.000 / lembar kain nya.

Hmmm.... bisa dibayangkan berapa pendapatan 1 orang pengrajin batik per bulannya ???

Dan menurut Ibu Hartinah pula, untuk penjualan kain batik tersebut mereka hanya mengandalkan para pengunjung yang datang langsung ke Desa mereka. Hal tersebut dikarenakan, dahulu pernah ada orang yang menawarkan diri untuk menjual kain batik mereka ke Jakarta dengan perjanjian kain tersebut akan dibayarkan beberapa minggu kemudian, namun sampai sekarang orang tersebut tidak ada kabar beritanya lagi. Jadi sampai sekarang mereka tidak pernah lagi menjual kain batik mereka melalui perantara.

Pada jaman orde baru, desa Giriloyo merupakan daerah tujuan wisata daerah Yogyakarta, dimana setiap minggu bus - bus pariwisata keluar masuk daerah tersebut membawa para turis. Dan pada saat itu transaksi penjualan batik sangatlah menguntungkan. Namun sejak masa orde baru selesai, seolah olah Desa Giriloyo terlupakan, tidak ada lagi bus - bus pariwisata yang keluar masuk, tidak ada lagi turis - turis asing yang tampak hilir mudik di desa tersebut. Hanya ada sesekali mobil dari luar yang masuk ke desa tersebut yang datang membawa pembeli, dan itu pun sangatlah jarang.

Setelah selesai memilih beberapa lembar kain batik, kami segera pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan kami.

Satu pengalaman yang tidak terlupakan..... jauh di dalam suatu desa yang jauh dari keramaian terdapat suatu pusat / titik yang menghasilkan suatu keindahan.
Dan satu pertanyaan yang menggelayut di pikiran..... seberapa lama batik tulis Desa Giriloyo tersebut akan bertahan, dimana tidak ada lagi generasi penerus yang akan membawa tongkat estafet mereka.

Sangat disayangkan apabila keindahan dari batik - batik tulis halus hasil desa Giriloyo tersebut di tahun - tahun yang mendatang hanya dapat kita lihat melalui buku - buku tentang batik atau di museum - museum.

Sentra batik tulis Giriloyo merupakan salah satu sentra kebudayaan yang berada di ambang kepunahan.
Sangat disayangkan apabila kita hanya tinggal menghitung waktu hingga akhirnya kebudayaan tersebut hilang di telan modernisasi jaman.

No comments: