Monday 17 November 2008

Pertarungan Hati

* Pertarungan Hati *
- catatan kecil untuk yang terkasih -


Hari ini langit tak sebiru kemarin
Hari ini tak secerah kemarin

Hari ini laut tak setenang kemarin
Hari ini tak sedamai kemarin

Hari ini dia tak sebahagia kemarin
Hari ini dia tak tersenyum, tak pula menangis
Mendung tak terbendung
Air mata tak terburai

Hatinya sunyi tak berkawan
Hatinya nelangsa melawan kepedihan
Setitik senyum tersembunyi dibalik air mata yang mengambang
Seberkas kebahagiaan bersembunyi dibalik kenestapaan

Dia ingin melawan kenyataan
Dia ingin melawan kesedihan
Dia ingin bertarung dengan ketidakadilan
Dia ingin mengalahkan ketidakberdayaan

Sekuat tenaga dia ingin berlari
Segenap raga dia ingin membela
Sepenuh hati dia ingin berdiri
Tegar menghadapi musuhnya

Wajahnya menyimpan seribu kemurungan
Hatinya memendam sejuta kerinduan
Jiwanya bergejolak membendung amarah
Tubuhnya bergetar menahan kepedihan

Kelelahan begitu nyata di wajahnya
Sisa - sisa tenaga dalam pertarungan terkikis sudah
Rapuh sudah benteng itu
Terkikis sudah karang itu

Dalam kesendirian dia ingin dipeluk
Dalam kesunyian dia ingin ditemani
Dalam kebahagian dia ingin berbagi
Dalam melangkah dia ingin digenggam

Dia ingin bersandar kepada belahan jiwanya
Duduk berdua menatap tenggelamnya mentari dalam peraduan
Dia ingin menggenggam erat tangan buah hati nya
Menyusuri tepian pantai ditemani desiran angin bernada kasih

Menghabiskan sisa waktu berdua
Menghapuskan semua kelelahan
Melewati semua kepedihan
Merelakan semua kekalahan

Seandainya... Langit kembali cerah, awan hitam berarak menghilang ...

Aku ingin dia tau... Dia adalah permata yang selamanya akan bercahaya dan akan abadi..

Saturday 15 November 2008

Bakmi Mbah Mo

Pernah gak sih elo mengira di dalam suatu dusun/perkampungan yang jauh dari keramaian kota ada sebuah restoran, actually sebuah rumah/warung yang menjual makanan yang enaakkk dan ramaiii sekali ???

Hmm.... antara iya dan tidak percaya yah..

Pada perjalanan gue tahun kemarin mengunjungi sentra - sentra kerajinan di daerah Yogyakarta, tepatnya di daerah bantul, gue menyempatkan diri untuk mencari tau apa sih makanan yang khas di yogya selain Gudeg. Rasanya buat kita orang - orang Indonesia, yang menjadi trade mark khas Yogyakarta itu adalah Gudeg ya, bahkan sampai kota nya aja dinamain Kota Gudeg.

Setelah tanya kanan kiri, dan sesuai referensi teman yang menetap di Yogyakarta, memang ada banyak makana khas lain di Yogya, salah satunya adalah mie nyemek.
Apa sih mie nyemek itu ??? itu lah hal yang pertama kali menjadi pertanyaan gue. Ternyata mie nyemek itu adalah sama dengan mie goreng atau orang Jakarta menyebutnya sebagai mie tek tek yang dijual dengan gerobak yang di dorong.

Yah... gue sedikit kecewa dengan referensi ini, menurut gue.. apa bedanya dengan di Jakarta, malah di Jakarta banyak sekali mie tek tek yang enak - enak. Ngapain jauh - jauh ke Yogya hanya buat makan mie ?? ya gakk siihh...

Hari pertama ajakan teman gue buat mengunjungi warung mie gue tolak dengan seribu satu alasan. Hari kedua, yah sorry sorry aja deh, gue masih gak mood..

Hari ketiga.... hari ini pagi - pagi gue bersama 2 teman gue pergi ke Solo, rencananya pulang pergi Yogya - Solo. Memang jarak tempuh Yogya- Solo tidaklah jauh, paling - paling 1,5 jam kita sudah sampai. Setelah urusan di Solo selesai, jam 4 sore kita sudah berangkat dari Solo menuju Yogya kembali. Di tengah perjalanan teman gue menanyakan kembali, mau gak kita mampir ke warung mie nyemeknya, mumpung kita searah, dan jam nya pas.. dengan perasaan tidak enak menolak ajakan teman gue yang udah berbaik hati mengantarkan kami kemana mana keliling Yogya - Solo, akhirnya gue menyetujui untuk singgah makan mie sore itu..

Sampai di Yogya, actually Bantul.. hari sudah mulai gelap, maklum kalau di desa jam 5 aja udah mulai gelap. Kami menyusuri jalan desa yang mulai sepi, kendaraan bermotor yang terlihat melintas hanya sepeda motor, dan itupun jarang sekali, di kanan kiri jalan yang ada hanya hamparan sawah yang mulai terlihat seperti tanah lapang di saat gelap. Kami tiba di sebuah perkampungan kecil dan sepi, tiba-tiba teman gue membelokkan mobilnya memasuki perkampungan tersebut, dan yang terlontar dari mulut gue secara reflek adalah... mau kemana kita ??? dengan tenang teman gue menjawab.. kita kan mau makan mie nyemek, tenang aja elo pasti nggak akan kecewa deh... ( waduh semoga aja temen gue nggak nyasar, soalnya mana mungkin di perkampungan kecil dan sepi begini ada warung makan, adanya juga rumah-rumah penduduk yang jam 6 sore udah gelap, penduduknya juga udah pada anteng di dalam rumahnya masing-masing )

Perkampungan penduduk tersebut memang benar - benar sepi yang ramai hanya suara jangkrik, lampu - lampu penerangan jalan tidak ada, lampu penerangan kampung pun tidak ada, yang ada hanya lampu - lampu kecil rumah penduduk yang dinyalakan hanya terbatas ( hemat energi kali yah )

Setelah masuk ke dalam perkampungan tak berapa lama kami sampai juga ke warung yang dimaksud oleh teman gue.

Actually ini adalah sebuah rumah penduduk seperti rumah - rumah lainnya, namun di samping rumahnya dibangun sebuah bilik terbuka menyerupai warung.
Di depan rumah tersebut terdapat sepetak tanah lapang yang agal luas untuk dipergunakan sebagai tempat parkir bagi mobil - mobil pengunjung yang datang... hmmm, siapa yang bakalan tau di dalam perkampungan sepi begini ada warung makan, buat apa juga disediain lapangan parkir segala, paling - paling yang makan juga penduduk - penduduk disekitar sini juga. ( under estimate banget yah gue... )

Ternyata kami adalah pengunjung pertama yang datang, jam 5.20 sore.. ya iyalah kami pengunjung pertama, lha warungnya aja jam bukanya baru jam 6 sore nanti kok...hehehhe...

Warung mie yang datangi itu namanya "Bakmi Mbah Mo", di dalam warung ( bukan di depan lho ) dipasang papan merek "Bakmi Mbah Mo" lengkap dengan foto nya si Mbah Mo. Usaha bakmi ini sudah ada sejak dahulu kala , mungkin sudah ada sekitar 30 tahun lebih. Mbah Mo nya sudah meninggal dunia, dan sekarang usahanya diteruskan oleh anak laki - lakinya. Namun koki masak nya tetap dilakoni oleh istri dari Mbah Mo yang mungkin kalau dilihat dari kondisi tubuhnya usianya sudah mencapai 65 thn an.


Menu mie di warung ini hanya ada 3 jenis yaitu : Mie Goreng, Mie Kuah, dan Mie Nyemek (mie goreng yang diberi kuah sedikit, agak basah ).

Gue memesan mie goreng, sedangkan 2 teman gue lainnya memesan mie kuah. Dan untuk minumannya kami memesan teh manis panas, soalnya udara malam mulai turun dingin.. hmm, enak sekali minum teh manis panas, apalagi nih gula yang dipakai itu menggunakan gula batu...

Setelah kami duduk beberapa menit, barulah keluar Mbah putri dari dalam rumah, bersiap-siap untuk bertugas. Gue sempat senyum - senyum dengan teman gue, agak lucu memang, kebayang nggak itu si Mbah berjalan keluar dari rumahnya menuju "dapur" nya dengan pakaian dinas menggunakan kain, kutang nenek-nenek jaman dahulu , dan sebuah kipas sate di tangan.. bukannya apa, gue kebayang sama nenek gue dulu, soalnya nenek gue dulu juga menggunakan busana yang sama seperti si Mbah Putri, namun nenek gue nggak se-vulgar si Mbah Putri, nenek gue masih menggunakan kebaya luar untuk menutupi kutangnya...hahhahaa...

Mbah Putri langsung pasang posisi di dapur kecilnya yang berada di depan warung, bahasa kerennya open kitchen gitu, jadi kita bisa lihat pada saat dia sedang memasak.

Ternyata nih Mbah putri bawa - bawa kipas kebesarannya itu untuk mengipas bara arang pada saat menggoreng mie, jadi mie itu dimasak masih menggunakan arang kayu... huuiihh...olah raga nih Mbah.

Mie goreng pesanan gue yang pertama kali dibuat.. tampaknya biasa aja, mie hanya digoreng dengan kol, daun bawang, telur dan sedikit daging ayam, begitupun dengan mie kuah pesanan teman gue. Setelah pesanan kami komplit kami mulai makan.. satu sendok pertama, hmmm... sendok kedua.. hmmm..hmmm.... sendok ketiga... Hmmm, yummmyy.... enak banget..

Ternyata mie nya enak banget.. serius enak benget deh, gue yakin ini adalah masakan mie tradisional yang bakalan gue ingat selamanya. Gue gak tau enaknya itu apa karena koki yang masaknya udah Mbah Mbah gitu, atau karena proses memasaknya yang masih tradisional menggunakan arang, atau karena perjalanan menuju tempat ini yang membutuhkan perjuangan.. Pokoknya semuanya terbayar dengan sepiring Mie... lupakan lah dengan semua cerita dibalik sepiring mie goreng, yang penting mie nya enaaakkk banget..

Sekejap piring kami langsung bersih, berhubung pengunjung warung itu baru kami bertiga, teman gue berinisiatif untuk memesan 1 piring lagi, kali ini khusus memesan menu Mie Nyemek yang tadi tidak kami pesan.

Setelah memesan menu terakhir kami, kami duduk - duduk santai sambil menikmati suasana desa yang sunyi, tenang di keremangan sore menuju malam... 5 menit pertama kami masih santai sambil bercerita hal - hal yang lucu sepanjang perjalanan kami tadi, 10 menit kemudian.. mana pesanan kita tadi.. lho lho lhooo kok mbah nya malah asyik nyapu halaman, kasih makan ayam nya, wuaahhh.... emang dasar mbah mbah yah, semaunya dia kerja, mungkin dipikirnya kita tadi masing - masing udah makan 1 piring, jadi pesanan tambahannya udah nggak urgent lagi kali yah, jadi dia bisa nyapu - nyapu dulu... aduh mbah, untung warungnya punya mbah sendiri, kalo nggak mbah udah dipensiunkan kali... hihihi...
Lucu juga memperhatikan kebiasaan hidup masyarakat desa yang tidak mementingkan kecepatan dalam bekeja, namun lebih mementingkan kenikmatan dalam bekerja... Break dulu yah mbah..

Sedari tadi kami makan, ada satu hal yang menarik perhatian gue, pada saat mbah putri tadi memasak mie pesanan kami, anak laki - laki mbah tersebut juga ikutan memasak di tungku sebelah Mbah. Namun mie masakan nya tersebut tidaklah disajikan kepada kami, namun disajikan di sebuah bale yang letaknya agak ke dalam warung. Mungkin ada sekitar 15 an piring mie disiapkan di bale tersebut . Untuk siapa mie tersebut ???

Tak lama kemudian pertanyaanku mulai terjawab, saat malam mulai turun, satu persatu warga laki - laki kampung tersebut berdatangan, masing masing membawa kain sarung dan senter ada juga yang membawa lampu petromak, persis seperti orang mau ngeronda. Mereka langsung masuk ke dalam warung dan duduk di bale dan masing - masing langsung makan mie yang sudah disiapkan tadi. Setelah selesai makan mereka secara bergerombol berjalan entah kemana, tebakan gue adalah mereka adalah petugas ronda kampung.

Balik lagi ke urusan mie yah... setelah selesai menyapu halaman, memberi makan anak ayamnya, mbah masuk ke rumah dan keluar kembali sudah dengan mengenakan kebaya, mungkin malam sudah mulai dingin yah..dan akhirnya mbah On Duty kembali, menyelesaikan pesanan terakhir kami.


Setelah selesai masak mie kami, ada sebuah mobil masuk ke halaman depan rumah mbah, dari mobil tersebut turun 5 orang tamu, sepertinya mereka sekeluarga. Dengan sopan anak laki - laki mbah menyapa tamu tersebut, tebakan gue tamu ini adalah pelanggan warungnya si mbah. Tak lama kemudian berturut turut mobil masuk ke parkiran rumah mbah, dilihat dari plat nomor mobilnya ternyata yang datang bukan hanya pelanggan dari daerah Yogya saja, malah ada yang dari Solo, Jakarta, Bandung. Cukup dalam waktu 30 menit, halaman rumah mbah penuh, ada sekitar 20 mobil terparkir.. wuahh, keren juga yah. Warung mbah yang kecil mungil hanya cukup manampung sekitar 20 - 30 orang, selebihnya tamu kebanyakan duduk - duduk di ruang tamu , teras, halaman rumah si Mbah, ada juga yang duduk asyik sambil makan di dalam mobil nya masing - masing.

Dan untungnya nih kami sudah selesai makan sebelum tamu - tamu lainnya datang... bisa kebayang gak sih.. Si Mbah kipas - kipas arang masak mie, kapasitas wajannya itu hanya muat untuk 2 piring, sedangkan antrian sudah mencapai 100 orang.. Gubraakkkss...maap yah mas/mbak, antrian ke 100 jam 9 malam nanti yah... terus ada aturan tidak tertulis seandainya tamu yang no 1 mau tambah lagi, silahkan antri ke nomor 101.. Siiippp gak sih...

Jam 6.30 kami beranjak pergi meninggalkan warung si Mbah, dan ternyata nih segerombolan bapak - bapak yang tadi gue kira ngeronda, mereka itu adalah warga kampung yang dibayar oleh si Mbah untuk bertugas menjemput tamu di ujung kampung ( di sebuah Pos di pinggir jalan kampung menuju rumah si Mbah ), kerennya adalah mereka sebagai tour guide warung si Mbah.

Yah siapa yang mengira bahwa disepanjang kegelapan ada sebuah api unggun, di dalam sebuah kesunyian ada sebuah keramaian...

Keluar dari kampung si Mbah, kami kembali menyusuri jalan perkampungan yang sunyi gelap gulita, kembali menuju kota Yogyakarta...

huiiihhhh ternyata yah banyak hal - hal yang diluar dugaan kita..

Ada yang berminat delivery bakmi nya si Mbah...

Friday 22 August 2008

Hotel dan Klub Billiton - Belitung

Hotel dan Klub Billiton Diresmikan

  • Pemkab dan Hukmu Berbagi Keuntungan
  • Kunjungan ke Belitung Meningkat

POS BELITUNG/HAMDANI
KOLAM RENANG -- Fasilitas kolam renang di Hotel dan Klub Billiton yang diresmikan Bupati Belitung Ir H Darmansyah Husein, Jumat (18/7) kemarin.
TANJUNGPANDAN, POS BELITUNG -- Pemukulan gong oleh Bupati Belitung Ir H Darmansyah Husein menjadi tanda diresmikannya Hotel dan Klub Billiton yang terletak di Jalan Depati Gegedek Nomor 50 Tanjungpandan, Jumat (18/7) kemarin.

Bangunan ini merupakan bekas bangunan Kantor PN Timah. Sebelum menjadi sebuah hotel, bangunan ini sempat menjadi Kantor Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Belitung. Hotel dan Klub Billiton dikelola PT PT Hotel Usaha Karya Mandiri Utama (Hukmu).

Hotel yang terletak di tengah Kota Tanjungpandan ini memiliki 24 kamar, terdiri dari 14 kamar standar, delapan kamar deluxe dan dua suite room. Hotel dan Klub Billiton juga menyediakan kolam renang dan ruang pertemuan yang cukup luas.

Tarif kamar berkisar Rp 500.000 hingga Rp 900.000. Namun, sampai tanggal 28 September 2008 atau menjelang Idul Fitri 1429 Hijriah mendatang, tarif hotel masih dalam harga promosi yaitu Rp 300.000 hingga Rp 600.000.
Direktur PT Hukmu Indrarto Kartohadiprodjo dalam sambutannya mengatakan, Hotel dan Klub Billiton merupakan kerjasama antara Pemkab Belitung dengan PT Hukmu. Indrarto berharap agar lokasi yang bersejarah ini menjadi tempat keakraban bagi masyarakat Pulau Belitung.

Bupati Belitung Ir H Darmansyah Husein dalam sambutannya mengemukakan untuk sampai pada tahap pembangunan dibutuhkan pembicaraan yang cukup lama dengan beberapa pihak. Ini berkaitan dengan prosedur yang dibenarkan oleh undang-Undang. Sejak reformasi bergulir, aturan-aturan untuk mengelola aset berubah hampir setiap tahun.
“BPK pernah bilang, kita akan kehilangan kerugian yang potensial sebesar Rp 600 juta. Karena kita memutus kontak dengan PT Barata. Tapi saya bilang, potensial keuntungan yang akan kita raih lebih besar dari Rp 600 juta. Jadi sekarang ini setengah dikelola oleh Barata, setengah dikelola oleh Pemkab dan PT Hukmu,” kata bupati.

Hotel dan Klub Billiton, kata bupati, menambah lengkap penginapan di Kabupaten Belitung. Dulu, di Kabupaten Belitung terdapat 20 cottage di Lor In Tanjungtinggi dan beberapa kamar VIP di hotel-hotel yang ada di Tanjungpandan. Padahal banyak orang yang ingin berkunjung ke Kabupaten Belitung untuk menggelar pertemuan dengan rekan kerja. Namun, setelah mendapat kabar kurangnya jumlah penginapan, maka banyak pula yang batal ke Kabupaten Belitung.

Menurut bupati, kawasan kota Tanjungpandan sangat cocok untuk pengembangan bisnis hotel. Tidak sekedar hotel, tapi juga dilengkapi dengan resort, fasilitas hiburan, convention center serta restoran. Sementara kawasan utara diperuntukkan resort, golf dan sports.

“Mudah-mudahan ini (hotel dan klub Billiton) membuat kita lebih percaya diri untuk memasarkan fasilitas akomodasi di Belitung ini,” kata bupati.

Usai peresmian, Ny Ir Hj Titiek Yoesiati Darmansyah Husein, istri bupati, menggunting pita yang terletak di depan pintu masuk lobi hotel. Rombongan kemudian mengunjungi kamar hotel dan melihat fasilitas yang disediakan.

Sepuluh Kali Lipat

Bupati menambahkan, angka kunjungan ke Belitung kini menjadi 1.672 persen atau meningkat hingga sepuluh kali lipat dalam waktu empat tahun. Angka tersebut menurut bupati dihasilkan pada saat Kabupaten Belitung belum berpromosi habis-habisan.
Kerjasama antara pemkab Belitung dan PT Hukmu dalam pengelolaan Hotel dan Klub Billiton menggunakan sistem KSO (kerjasama operasional) dan BOT (built on transport).

Di sela kunjungan ke kamar hotel, bupati menjelaskan, hotel merupakan milik PT Hukmu yang dibangun dengan dana PT Hukmu. Kerjasama pemkab dan PT Hukmu untuk hotel ini menggunakan sistem BOT. Setiap hotel mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi dengan pemkab.

Sementara klub yang ada di lokasi ini merupakan milik Pemkab Belitung dan dibangun dengan dana pemkab. Akan tetapi pengelolaannya dilakukan PT Hukmu dengan sistem KSO. Keuntungan yang didapat dari pengoperasian klub ini juga dibagi antara Pemkab dan PT Hukmu.

Direktur Utama PT Hukmu Indrarto Kartohadiprodjo menjelaskan, hotel yang memiliki 24 kamar tersebut sudah mulai beroperasi. Kamar-kamar tersebut terdiri dari kamar kelas standar, delux dan dua suite room. Dana untuk pembangunan hotel sekitar Rp 7 milyar, sedangkan klub menelan dana Rp 4,2 milyar. (vid/h4)

Tuesday 6 May 2008

Giriloyo - Sentra batik tulis yang terlupakan

Pada saat kami mengunjungi daerah Bantul - Yogyakarta, kebetulan pada saat itu musim tanam padi sudah berakhir dan diganti dengan perkebunan tebu. Pohon - pohon tebu setinggi ukuran tinggi orang dewasa tampak berayun ayun mengikuti arah tiupan angin.

Tujuan kami hari ini adalah mengunjungi desa batik Giriloyo, yang katanya pembatik di daerah tersebut adalah pembatik kain - kain kraton. Desa Giriloyo terletak sekitar 1 km sebelah utara kompleks Pemakaman para raja - raja Imogiri.


Perjalanan menuju ke desa Giriloyo, sangatlah menakjubkan dengan pemandangan hamparan perkebunan tebu di kiri - kanan jalan. Di sepanjang perjalanan kami hanya sesekali bertemu dengan pengendara sepeda atau petani yang sedang membawa cangkul pulang ke rumah. Jalanan yang kami lalui sangat sunyi, saya membayangkan apabila malam hari tiba, jalan ini tentu akan sangat sunyi dan gelap gulita. Tak berapa lama kemudian, tampak sudah di hadapan kami perkampungan penduduk Desa Giriloyo. Pemandangan yang begitu asri, kombinasi antara rumah - rumah kayu dengan hijaunya pepohonan serta warna - warni bunga di halaman rumah mereka. Desa ini begitu tenang, begitu damai, suatu pemandangan yang sangat jauh berbeda dengan kondisi di Jakarta.

Beberapa rumah sudah kami lewati, tak jauh di depan kami tampak berapa penduduk desa yang sedang bergotong royong menurunkan pasir dari sebuah truk berwarna merah. Mereka sedang bergotong royong untuk membangun jembatan desa yang rusak. Kami berhenti sebentar untuk menanyakan kepada bapak - bapak tersebut arah letak rumah para pengrajin batik, dan seorang bapak kemudian menunjuk ke salah satu rumah yang letaknya agak ke atas yang merupakan rumah dari ketua kelompok pengrajin batik di daerah tersebut.

Tampak di depan sebuah rumah papan alamat " Kelompok Pengrajin Batik Tulis Tradisional BIMA SAKTI " dan tidak lama kemudian tampak seorang Ibu yang berumur sekitar 60 th datang menghampiri kami. Setelah memperkenalkan diri, Ibu tersebut mempersilahkan kami masuk ke dalam pendopo rumah nya yang masih bergaya rumah jawa jaman dahulu. Ibu tersebut bernama Ibu Hartinah yang merupakan salah satu ketua kelompok pengrajin batik di desa Giriloyo

Ibu Hartinah mempersilahkan kami untuk melihat lihat ke pendopo belakang rumahnya untuk melihat proses pembuatan batik tulis. Kebetulan hari itu hanya tampak 1 orang bapak yang sedang merendam kain batik yang telah selesai diwarnai dan tampak pula tumpukan kain batik yang baru selesai dicanting. Setelah puas berkeliling dan melihat lihat, kami kembali ke pendopo depan untuk melihat lihat kain batik tulis yang sudah siap untuk dijual. Hamparan kain batik tulis dengan motif - motif tradisional khas Yogya tampak begitu menakjubkan, dan memang pengrajin batik di Giriloyo masih mempertahankan motif - motif klasik
seperti motif sido asih, sido mulyo, sido mukti, sido luhur, truntum mangkoro, sri kuncoro, wahyu tumurun dan masih banyak lainnya.

Menurut Ibu Hartinah sekarang para pengrajin batik di daerah tersebut sudah semakin sedikit, dan rata rata mereka sudah berumur 45th ke atas. Generasi muda desa tersebut lebih banyak memilih untuk bekerja di luar desa. Dan di desa Giriloyo tersebut hanya terdapat 2 kelompok pengrajin, dimana dalan 1 kelompok tersebut terdiri dari sekitar 24 orang.

Untuk pengerjaan 1 lembar kain batik, biasanya dikerjakan oleh 4-5 orang. Pada proses penggambaran motif pada kain dikerjakan oleh 1 orang dan kemudian pindah ke orang lainnya untuk proses pencantingan / pelilinan, kemudian proses pewarnaan dikerjakan oleh orang lain lagi, dan terakhir proses pelorodan / penghilangan lilin dari kain ini juga dikerjakan oleh 1 orang yang berbeda pula. 1 lembar kain batik tulis dikerjakan dalam jangka waktu 3 bulan dengan harga jual Rp. 550.000 / lembar kain nya.

Hmmm.... bisa dibayangkan berapa pendapatan 1 orang pengrajin batik per bulannya ???

Dan menurut Ibu Hartinah pula, untuk penjualan kain batik tersebut mereka hanya mengandalkan para pengunjung yang datang langsung ke Desa mereka. Hal tersebut dikarenakan, dahulu pernah ada orang yang menawarkan diri untuk menjual kain batik mereka ke Jakarta dengan perjanjian kain tersebut akan dibayarkan beberapa minggu kemudian, namun sampai sekarang orang tersebut tidak ada kabar beritanya lagi. Jadi sampai sekarang mereka tidak pernah lagi menjual kain batik mereka melalui perantara.

Pada jaman orde baru, desa Giriloyo merupakan daerah tujuan wisata daerah Yogyakarta, dimana setiap minggu bus - bus pariwisata keluar masuk daerah tersebut membawa para turis. Dan pada saat itu transaksi penjualan batik sangatlah menguntungkan. Namun sejak masa orde baru selesai, seolah olah Desa Giriloyo terlupakan, tidak ada lagi bus - bus pariwisata yang keluar masuk, tidak ada lagi turis - turis asing yang tampak hilir mudik di desa tersebut. Hanya ada sesekali mobil dari luar yang masuk ke desa tersebut yang datang membawa pembeli, dan itu pun sangatlah jarang.

Setelah selesai memilih beberapa lembar kain batik, kami segera pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan kami.

Satu pengalaman yang tidak terlupakan..... jauh di dalam suatu desa yang jauh dari keramaian terdapat suatu pusat / titik yang menghasilkan suatu keindahan.
Dan satu pertanyaan yang menggelayut di pikiran..... seberapa lama batik tulis Desa Giriloyo tersebut akan bertahan, dimana tidak ada lagi generasi penerus yang akan membawa tongkat estafet mereka.

Sangat disayangkan apabila keindahan dari batik - batik tulis halus hasil desa Giriloyo tersebut di tahun - tahun yang mendatang hanya dapat kita lihat melalui buku - buku tentang batik atau di museum - museum.

Sentra batik tulis Giriloyo merupakan salah satu sentra kebudayaan yang berada di ambang kepunahan.
Sangat disayangkan apabila kita hanya tinggal menghitung waktu hingga akhirnya kebudayaan tersebut hilang di telan modernisasi jaman.